Judul Film: Doubt (tahun 2008)
Penulis naskah: John Patrick Shanley
Bintang Film: Philip Seymour Hoffman (Father Flynn), Meryl Streep (Sister Aloysius), Adams (Sister James), Joseph Foster (Donald Miller), Viola Davis (Mrs. Miller)
Peneropong: Postinus Gulö
Film ini tidak hanya sebatas kritik atas kepemimpinan. Film ini mengungkap fakta yang sering terjadi di kalangan pemimpin. Seringkali kepemimpinan direduksi menjadi sebatas kekuasaan yang kaku, mencurigai, mengawasi (berlaku sebagai pan-optik), menentukan dan “menghancurkan” nasib orang. Pemimpin melupakan tanggung jawab besar yakni menumbuhkembangkan rekan kerjanya serta bawahannya. Ucapan Father Flynn kepada Sr. Aloysius (kepala sekolah) begitu menarik. “Emosi bukanlah fakta. Kecurigaan bukanlah fakta.” Kalimat ini menarik. Betapa tidak, suster begitu yakin bahwa Flynn memiliki hubungan khusus dengan seorang muridnya, Donald Miller. Memang ada pihak ketiga di antara mereka, Sister James. Ia bertipe selalu mencurigai seseorang. Maka ia suka memata-matai rekan kerjanya. Tidak heran jika kabar darinya sebatas gosip!
Saya “menangis” dalam hati melihat keegoisan Sr. Aloysius. Mrs.Miller bersujud minta agar anaknya, Donald Miller tidak dikeluarkan dari sekolah. Kalau dikeluarkan, maka Donald Miller akan dibunuh ayahnya. Apa yang terjadi, Sr. Aloysius tidak mau peduli.
Bagi saya, film ini berbicara mengenai realitas kehidupan kepemimpinan. Manakala, seorang pemimpin lebih mempercayai tukang gosip, pada saat itu pula ia telah melakukan beberapa kesalahan:
Pertama, asal menuduh tanpa fakta. Dalam film ini, Sr. Aloysius dan Sr. James menuduh sekaligus menghakimi bahwa Flynn dan Donald Miller adalah homoseksual. Sr. Aloysius dan Sr. James sering menuduh tanpa harus membuktikan kebenarannya. Karena sipenuduh memiliki otoritas maka ia berpikir ia paling benar, mother knows best. Tidak heran jika ada sebuah adagium: the boss is always right.
Kedua, tidak mempercayai rekan. Flynn adalah partner Sr.Aloysius dan Sr.James, rekan kerja sebagai guru. Relasi ideal di antara mereka seharusnya adalah saling mempercayai. Tapi yang terjadi justru sebaliknya, Sr. Aloysius lebih mempercayai omongan gosip. Saya berpikir-pikir begini: di komunitas manapun terjadi demikian. Manakala seorang pemimpin jarang di komunitas tetapi seolah-olah lebih tahu keadaan komunitas, di sinilah terjadi bahwa ia mengandalkan tukang gosip. Dalam situasi seperti ini, tentu anggota komunitas tidak nyaman dengan sikap kepemimpinan semacam itu. Akan tetapi, realitas ini sering terjadi. Entah kapan disadari.
Ketiga, membenarkan dirinya yang salah. The boss is always right. Cukup fenomenal realitas ini. Sikap ini sering kita alami di komunitas-komunitas manapun. Bawahan di tempatkan di posisi no body, pihak yang hampir selalu dilihat salah, perlu berefleksi, perlu berendah hati, perlu taat. Pada saat yang sama sang pemimpin kurang (saya sebenarnya mau mengatakan tidak) menerapkan dalam dirinya apa yang baru saja ia katakan. Ini realitas. Atasan anti kritik. Maka, mereka begitu terlihat defensif. Membentengi diri dengan berbagai pembenaran yang sebenarnya tidak selalu masuk akal. Aneh! Begitu sering saya gambarkan. Argumen pembenaran itu sebenarnya aktualisasi dari kegagapan karena defensifitas yang berlebihan.
Bagi saya, kualitas seseorang tidak ditentukan oleh jabatan dan statusnya. Keyakinan saya ini terbukti dalam film Doubt tersebut. Sr. Aloysius menjabat sebagai kepala sekolah. Ia seorang biarawati. Tetapi ia tidak memiliki kualitas dalam hal meyakini mana yang lebih benar. Suster itu begitu egois karena ia begitu yakin pada gosip dan emosionalya (sensivitasnya). Di tempat pendidikan-formasi pun terjadi sikap-sikap semacam ini. Ada yang berwajah angkuh. Pola pikirnya “sakit”. Sikap dan tindakan tak bersahabat. Kata-katanya sering melukai. Ia selalu mencurigai. Tidak percaya pada rekannya. Hidupnya membuat konflik (problem maker). Di mana-mana ia dibenci. Tegas tapi dangkal. Seolah-olah hebat tapi “bodoh”. Menegur yang lain selalu ketus dan marah. Pertanda hatinya penuh ketidakberesan, tidak tenteram. Pendeknya hidupnya kaku, tidak mendalam. Tapi ia berani berkata: why you so seriously. Ia hanya mempertanyakan diri orang lain akan tetapi ia mungkin tak pernah melihat dirinya sendiri. Ia hanya melihat balok pada mata orang lain. Ia mungkin berpikir begini: I am the boss, so, I’m always right. Bukan hanya dangkal tapi banal.
Seorang pemimpin idealnya menyadari tanggung jawabnya yang bukan hanya besar tetapi berpengaruh bahkan menentukan. Dalam memikul tanggung jawabnya seharusnya ia mesti memiliki hati yang bersih sehingga ia mampu berpikir positif. Ia mestinya selalu berefleksi agar ia mampu mendengarkan suara Allah sehingga keputusan-keputusan yang ia berikan sangat bijak dan tepat. Ia juga mesti menyadari kelemahannya agar kelemahannya tidak mendominasi perilaku dan keputusan-keputusannya. Dan yang paling penting ia mesti ber-discernment agar keputusannya benar-benar objektif dan bijaksana.
Film ini, menyampaikan pesan yang sangat dalam terhadap saya. Pesan itu bukan sekedar pesan melainkan teguran agar saya tidak berlaku seperti Sr. Aloysius dan Sr. James. Dalam menjalani hidup ini saya diajak untuk melihat orang sebagai yang layak dipercayai dan mempercayai. Ada harapan besar saya dalam menjalani kehidupan ini yakni mempraktekkan hospitalitas yang nyata. Melalui komunikasi yang penuh persaudaraan tanpa seperti komunikasi interogatif dan komunikasi sindiran. Sesama anggota komunitas mesti dianggap sebagai teman bicara, teman bercanda, teman bertumbuh, teman terbuka dan bukan sebagai teman untuk kita interogasi, bukan pula teman yang kita pojokan dengan menunjukkan kesahan-kesahannya di depan publik agar ia malu.
Memang saya juga menyadari, antara idealisme (harapan) saya dengan realitas pasti berbeda. Saya menyadari bahwa tidaklah bijak juga jika saya memaksakan idealisme saya menjadi realitas. Saya mesti berjuang untuk beradaptasi dengan realitas walau saya pasti terluka, marah dan kecewa. Kekecewaan itu pun bukan berarti saya menjadi layu. Saya harus mampu menguasai situasi dan jangan sampai situasilah yang menguasai saya. We first make our habit than habit makes us, meminjam kata Stephen Covey.